TINJAUAN TEORI
A.
Teori-Teori Konflik
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik
adalah:
1. Teori
hubungan masyarakat
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan
dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran:
meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami
konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling
menerima keragaman yang ada didalamnya.
2. Teori
kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan
oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi
atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan,
identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama
kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk
memenuhi kebutuhan itu.
3. Teori
negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh
pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk
memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi
tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
4. Teori
identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di
masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog
antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi
ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan
rekonsiliasi di antara mereka.
5. Teori
kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang
berbeda.
Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang
berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka
miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6. Teori
transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah
sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran:
mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan
sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan
sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan,
rekonsiliasi, pengakuan.
B.
Ciri-Ciri Konflik
Menurut
Wijono (1993:37), Ciri-ciri konflik adalah:
1.
Setidak-tidaknya
ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu
interaksi yang saling bertentangan.
2.
Paling
tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok
dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai
atau norma yang saling berlawanan.
3.
Munculnya
interaksi yang seringkali ditandai dengan gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak
lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab,
pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau
pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.
Munculnya
tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
5.
Munculnya
ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri,
prestise dan sebagainya.
C.
Tahapan-Tahapan Perkembangan
Kearah Terjadinya Konflik
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai
macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak
dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent
condition)
Tahap
perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu
dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan
dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts)
dan konflik yang dapat dirasakan (felt
conflict)
Muncul
sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam
perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada
tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika
konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak,
maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.
D.
Sumber-Sumber Konflik
1. Konflik Dalam
Diri Individu (Intraindividual Conflict)
a. Konflik yang
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut
Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan
yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
b. Konflik yang
berkaitan dengan peran dan ambigius
Di
dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan
ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan
harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi. Filley and House memberikan kesimpulan
atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi,
yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel
pokok : mempunyai
kesadaran akan terjadinya konflik peran, menerima kondisi
dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam
pekerjaan, memiliki kemampuan untuk mentolelir stress,
memperkuat
sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam
organisasi.
E.
Dampak Konflik
1.
Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono
(1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan
secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku
yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan
berbagai akibat seperti:
a. Meningkatnya
ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir
tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang
kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu
secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
b. Meningkatnya
hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas
dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
c. Meningkatnya motivasi
kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar
kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi
kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan
kreativitas.
d. Semakin berkurangnya
tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas
kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan
aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan
bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
e.
Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan
kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education),
pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan
produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2.
Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif
konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam
pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur
dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai
berikut:
a. Meningkatkan
jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja
berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara
radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada
di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang
tak jelas.
b. Banyak karyawan
yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang
adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab. Seringnya
terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan
keluarganya.
c. Banyak karyawan
yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan,
merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang
bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
d. Seringnya
karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari
atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara
merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan
kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
e. Meningkatnya
kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over.
Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara
menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu
tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul
pemborosan dalam cost benefit.
Konflik
yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang
di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka
seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
a. Kehilangan
karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka
mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang
paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
b. Menahan atau
mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar
tetap dapat mencapai prestasi.
c. Keputusan yang
lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk
memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
d. Kemungkinan
sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor
“kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak
terhitung banyaknya.
e. Sabotase
terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar
burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan,
tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus
terpusatkan ke sana.
f. Menurunkan
moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa
ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh
anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali
mengobarkannya kembali.
g.
Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada
bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos
kerja.
F.
Definisi Manajemen Konflik
Manajemen
konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar
dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk
tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luaryang
berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang
akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara
pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut
Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu
yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian
konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif,
kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan
diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan
pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan
yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
dan penafsiran terhadap konflik.
G. Peran Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Dalam sebuah organisai, pekerjaan individual maupun
sekelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika
suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu
diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika
suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu
menjadi kambing hitam.
Para manajer bergantung kepada ketrampilan
berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses
perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan
tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan
waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal
dengan orang lain.
Keterampilan memproses
informasi yang dituntut dari seorang manajer termasuk kemampuan untuk mengirim
dan menerima informasi ketika bertindak sebagai monitor, juru bicara (Spekesperson),
maupun penyusun strategi. Sudah
menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer untuk selalu
dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening dari tugas seorang manajer
dalam melaksanakan komunikasi yang efektif didalam organisasi bisnis yang
ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang
diberikan akan sama dengan arti yang diterima olh penerima instruksi demikian
pula sebaliknya (the intended meaning of the same).
Hal ini harus menjadi tujuan seorang manejer dalam
semua komunikasi yag dilakukannya. Dalam
hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan
pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role
expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi
buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan
berusaha untuk meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan
mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota bawahannya.
Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan
interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.
Manajer menghabiskan 20 persen dari waktu kerja
mereka berhadapan dengan konflik. Dalam hal ini, manajer bisa saja sebagai
pihak pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa saja
sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa
pula sebagai mediator atau pihak ketiga, yang perannya tidak lain dari menyelesaikan
konflik antar pihak lain yang mempengaruhi organisasi bisnis maupun individual
yang terlibat di dalam organisasi bisnis yang ditanganinya.
H.
Strategi Mengatasi Konflik
1.
Mengatasi Konflik Dalam
Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu: menciptakan kontak dan membina hubungan, menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan, menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri, menentukan tujuan, mencari beberapa alternative, memilih alternative, merencanakan pelaksanaan jalan keluar.
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu: menciptakan kontak dan membina hubungan, menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan, menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri, menentukan tujuan, mencari beberapa alternative, memilih alternative, merencanakan pelaksanaan jalan keluar.
2.
Strategi Mengatasi Konflik
Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
a. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang
sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan
tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik
atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam
strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak
ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk
campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas
kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
Ø Arbitrasi
(Arbitration), merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan
kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan
penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
Ø Mediasi
(Mediation), dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan
konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator
tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan
rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
b. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose
strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami
kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose, dapat melalui:
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose, dapat melalui:
Ø
Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik
antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan
tugas (task independence).
Ø
Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan
melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya
konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja
(jurisdictioanal ambiquity).
Ø
Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk
mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang
relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication
barriers).
Ø
Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan
kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter
karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
Ø Taktik-taktik
yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga
tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan
konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition
for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
c. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena
menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi
komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling
merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya
penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
Ø
Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema
Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan
kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
Ø Konsultasi
proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian
melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana
keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan
kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat
konflik.
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
a.
Pendekatan Birokratis
(Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya.
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya.
b.
Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam
organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan
cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
struktural (structural hierarchical).
c. Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative
Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan
diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika
konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya
manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
d.
Pendekatan Sistem (System
Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada
masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada
kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach)
adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul. Pendekatan ini
menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran
dengan produksi dalam suatu organisasi.
Reorganisasi Struktural (Structural
Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk
melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan
perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti
membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang
berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task
interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga
fungsi organisasi menjadi kabur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar